PELAYANAN YANG DEKAT DENGAN TUHAN

Dalam kisah Maria dan Martha, Yesus memberi pesan bahwa pelayanan memang penting, namun harus didasari pada kedekatan dengan Tuhan. Menjadi pelayan tetap harus mendengarkan Yesus. Jika tidak, pelayanan akan kosong. Demikian kata Romo YS. Sunu Siswoyo, Pr, dalam Ekaristi 25 tahun imamatnya di Gereja St. Theresia Sedayu, Bantul. Turut menjadi selebran dalam Ekaresti Minggu (21/7) ini adalah Fransiskus Asisi Sugiarto, SJ (pastur ekonom KAS), Aloysius Dwi Prasetya, Pr (pastur pembantu) dan dua teman seangkatan Rm. Sunu, yaitu Stefanus Wiliam Pau, Pr dan Martoyoto Wiyono, Pr. Rm. Sunu ditahbiskan pada 19 Juli 1988 di Ganjuran oleh Mgr. Darmaatmaja, SJ.

DSCF3922

Mengutip buku karangan Paus Yohanes Paulus II, Rm. Sunu mengatakan bahwa imam adalah pelayan misteri Allah. Menjadi pelayan artinya ia tak pernah menjadi pemilik. Tapi ia harus menjalankan tugas dengan setia dan tanggung jawab. Maka sumber keberhasilan seorang imam adalah kesucian imamatnya. Menurut Paus Benedictus XVI, kesetiaan Kristus adalah kesetiaan iman. Kesetiaan iman akan memiliki makna jika dilandasi kesediaan dan meditasi. Rm. Sunu mengakui bahwa perjalanan panggilannya masih terasa kosong. Meski demikian ia memiliki beberapa kebanggaan. Bangga karena ditahbiskan menjadi imam. Bangga karena yang menahbiskan (Mgr. Darmaatmaja, SJ) dan yang mendampingi (I. Suharyo, Pr – sekarang uskup KAJ) bisa menjadi berkat bagi yang lain. Bangga karena semua paroki yang pernah digembalakan bisa berkembang.

Dalam sambutannya Rm. Sugiarto, SJ mengatakan bahwa dasar pelayanan adalah kedekatan dengan Tuhan. Seorang imam seharusnya menjadi seperti seorang gembala yang masuk dalam kawanan domba, sehingga ada kesatuan yang kental antara gembala dan domba-dombanya. Sehingga kesulitan, jerih payah dan kegembiraan umat bisa dirasakan juga oleh gembalanya. Dan juga sebaliknya, umat juga harus membantu tugas imamnya. Tugas seorang imam adalah membantu agar penggembalaan uskup sampai kepada umatnya. Selain itu Gereja juga harus mewujudkan kesejahteraan masyarakat, yaitu peningkatan taraf pendidikan, peningkatan taraf kesehatan dan peningkatan kehidupan ekonomi. Sehingga semboyan signifikan dan relefan akan berdampak nyata pada umat dan masyarakat. Setelah Ekaresti, kegiatan dilanjutkan dengan pesta umat.

Wawan S

SPIRITUALITAS ST. THERESIA

Devosi terhadap Kanak-kanak Yesus bukanlah devosi yang populer di Indonesia. Padahal devosi ini termasuk tradisi Gereja. Dan Kanak-kanak Yesus terbukti mendatangkan rahmat berlimpah pada masa perang dunia dua. Gereja Sedayu, yang berlindung pada Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus juga merasakan daya yang memakmurkan itu. Demikian kata Rm Al. Dwi Prasetya, Pr, pastur paroki Sedayu, Bantul, dalam Sarasehan Spiritualitas St. Theresia Kanak-kanak Yesus, Minggu (30/10) di Sedayu, Bantul. Kegiatan terakhir Bulan Paroki ini dipersembahkan sebuah lingkungan untuk Paroki Sedayu sebagai perayaan santo pelindungnya.

 

Pembicara yang lain, Fr Fabi,OCD mengatakan orang senang dengan St Theresia karena Theresia melakukan hal-hal yang kecil secara terus menerus. Salah satu karya Theresia adalah mendoakan para misionaris sehingga ia diangkat sebagai pelindung misi. Romo YS. Sunu Siswoyo, Pr, pastur kepala, dalam pengantarnya mengatakan bahwa dengan berlidung pada St. Theresia maka Paroki Sedayu meneladan keutamaan-keutamaan St Theresia. Semula Theresia kelihatan biasa-biasa saja. Namun dalam buku hariannya, Theresia menuliskan keuletannya menjalani lorong-lorong gelap kehidupan. Keutamaan Theresia adalah ketekunan berdoa, kesederhanaan, mengerjakan semuanya demi Tuhan dan menyerahkan segalanya kepadaNya.

 

Dalam hal peran Gereja, Romo Dwi Prasetya mengutip dokumen Ecclesia Semper Reformanda (Gereja yang Hidup) yang dihasilkan oleh Konsili Vatican II. “Pastoral bukan hanya milik pastur paroki tapi umatnya,” kata Romo Dwi Prasetya. Maka Gereja yang kredibel adalah Gereja yang transparan, dan agar transparan maka semuanya harus terukur. Selain itu menjadi murid Tuhan juga merupakan sesuatu yang tak pernah selesai. Usia juga bukan alasan untuk berhenti. Karena menjadi murid artinya adalah belajar, belajar dan terus belajar. Dalam hal sejarah Gereja Sedayu, semula dimulai dengan 25 orang katekumen. Tahun 1927, Pater Van Kalken SJ, seorang Superior Jesuit yang meresmikan Gereja Sedayu berpesan pada umat di Sedayu agar ingat pada “sahabat yang setia,” yaitu Tuhan yang berujud Sakramen Mahakudus. Dan menurut Romo Dwi Prasetya spiritualitas Theresia sampai saat ini belum nampak. Oleh karena itu perlu dicari spiritualitas macam apa yang akan dibawa sampai pada masa yang akan datang.

 

Pembicara lainnya adalah Yakobus Widarko, seorang warga Paroki Sedayu, mengatakan manusia diberi modal yang sama, hidup di hukum alam yang sama, sama-sama diberi otak dan hati nurani, dan memiliki kesempatan yang sama. Orang bisa sukses, seperti St Theresia, karena mereka memulai sesuatu dengan benar, mengerjakan sesuatu dengan benar dan tak hanya sekedar berpikir tetapi juga bertindak. Maka agar sukses harus berusaha meningkatkan hidup, dengan cara membuang kebiasaan negatif, mengembangkan kepribadian positif dan energi positif, dan juga bersyukur.

LINGKUNGAN SEHARUSNYA AKRAB

Karena lingkungan merupakan sebuah paguyuban, maka pertemuan-pertemuan lingkungan hendaknya diwarnai dengan suasana keakraban, kegembiraan. Karena tolok ukur sebuah paguyuban adalah keakraban antar anggotanya. Oleh karena itu hal-hal yang membuat tidak akrab hendaknya dihilangkan. Jika ini bisa dicapai, maka semua anggota paguyuban akan menjadi sehati. Dengan berkumpul, semua anggota paguyuban akan merasakan adanya kekuatan yang menyatukan. Lingkungan juga bisa menjadi tempat dan sarana untuk bertemu Tuhan. Demikian kata Romo Markus Prawoto Nurwidi, Pr, dari Museum Misi Muntilan, dalam Pembekalan Pengurus Lingkungan Paroki St. Theresia Sedayu, Jumat (21/6). Romo Nurwidi menyampaikan paparan berjudul Cara Menggereja dan Memasyarakat yang Signifikan dan Relevan. Dalam Kitab Suci dikisahkan bahwa Yesus mau menyapa orang-orang berdosa. Maka siapa pun yang bergabung dalam paguyuban di lingkungan harus diterima. Dengan cara ini maka lingkungan akan menjadi pupuk, sehingga mereka yang tinggal di dalamnya akan tumbuh menjadi baik.

 

Menurut Romo Nurwidi, ada tiga fungsi lingkungan. Pertama, sebagai pusat persekutuan yang lebih luas. Karena sebenarnya lingkungan merupakan ujung tombak gereja. Kedua, sebagai Gereja yang kongkret. Dalam lingkungan tiap anggotanya saling berhubungan. Sehingga lingkungan merupakan penyangga paroki. Dan ketiga, sebagai arena peran aktif kaum awam. Maka hal-hal yang dibicarakan dalam lingkungan adalah terkait kebutuhan awam. Jika banyak umat di lingkungan tidak aktif, bisa jadi kegiatan-kegiatan di lingkungan bukan untuk kaum awam. Ciri dari kaum awam adalah berbicara mengenai hal-hal terkait kebutuhan duniawi. Padahal saat ini banyak kegiatan yang isinya adalah berdoa. Inilah yang menjadi penjelasan mengapa kaum muda biasanya enggan terlibat dalam pertemuan-pertemuan di lingkungan. Contoh kegiatan di lingkungan adalah kagiatan yang bisa membuat anak mau rajin belajar. Lingkungan adalah milik awam, maka sebaiknya diisi dengan hal-hal terkait kegiatan duniawi. Jika lingkungan diisi dengan kegiatan-kegiatan duniawi, maka dimana posisi hierarki Gereja? Hierarki adalah rekan dalam bekerjasama dengan awam. Imam adalah penjaga kemurnian iman, dan awam adalah pengembang iman. Sehingga awam tak perlu takut salah, karena ada penjaganya. Misalnya, membuat jalan salib dengan materi yang dikreasikan dari Kitab Suci, bukan dari panduan jalan salib yang ada. Oleh karena itu iman harus dikembangkan secara kreatif dan tak perlu takut salah.

 

Lingkungan yang hidup memiliki dua gerakan, yaitu gerakan ke dalam dan gerakan ke luar. Gerakan ke dalam adalah gerakan kepada sesama orang Katholik, yaitu dengan memelihara keselamatan jiwa-jiwa. Misalnya: mengokohkan keluarga-keluarga Katholik, kunjungan kasih-pastoral, menghidupi tradisi Katholik, memperhatikan mereka yang miskin dan tersingkir, memperdalam wawasan iman dan memperhatikan mereka yang berada dalam kesulitan iman. Gerakan ke luar adalah gerakan kepada mereka yang non Katholik, kepada masyarakat. Maka lingkungan menjadi paguyuban bagi perwujudan misi awam. Misalnya: ambil bagian dfalam kegiatan yang memajukan masyarakat, menjalankan dialog tiga matra (bersahabat dengan umat agama lain, berjiwa inkulturatif dan memperhatikan mereka yang mengalami kesulitan hidup) dan menjalin hubungan yang baik dengan pamong setempat.

 

Secara statistik, Romo Nurwidi mengatakan bahwa lingkungan sebaiknya diisi oleh umat sejumlah 10 sampai 50 keluarga. Dalam pertemuan lingkungan sebaiknya diikuti 40% dari warga di setiap kategori. Maka setiap lingkungan dengan jumlah keluarga melebihi 50 akan di mekarkan. Dengan mekar maka lingkungan tersebut akan berkembang, dan yang tak mau mekar, takkan berkembang. Di lingkungan juga perlu pembagian kerja yang sinergis. Ketua lingkungan bukan segala-galanya. Sehingga butuh kerendahan hati untuk bekerja sama.

 

Wawan S